Jumat, 23 Desember 2011

IMPLEMENTASI MODEL PEMBELAJARAN LEARNING CYCLE 5E UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA KELAS IX B SMP NEGERI 2 SLEMAN




Oleh
Nina Agustyaningrum, S.Pd.Si.
Jurusan Pendidikan Matematika, Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta
Email: agustyaningrum_uny@yahoo.co.id



ABSTRAK
Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas (PTK) yang bertujuan untuk mengetahui bagaimana proses pelaksanaan pembelajaran Learning Cycle 5E yang dapat meningkatkan kemampuan komunikasi matematis siswa kelas IX B SMP Negeri 2 Sleman tahun ajaran 2010/2011. Kemampuan komunikasi matematis yang akan diukur terdiri dari tiga aspek, yaitu (1) kemampuan menyatakan ide-ide matematis melalui lisan, tulisan, serta menggambarkan secara visual; (2) kemampuan menginterpretasikan dan mengevaluasi ide-ide matematis baik secara lisan maupun tertulis; (3) kemampuan dalam menggunakan istilah-istilah, simbol-simbol matematika, dan struktur-strukturnya untuk memodelkan situasi atau permasalahan matematika. Tahap-tahap pembelajaran Learning Cycle 5E yang dapat meningkatkan kemampuan komunikasi matematis siswa kelas IX B SMP Negeri 2 Sleman terdiri dari 5 tahap pembelajaran yaitu: (1) tahap engagement yang menekankan pada pemberian materi apersepsi dan pengetahuan awal siswa; (2) tahap exploration yang menekankan pada optimalisasi diskusi kelompok; (3) tahap explanation yang menekankan pada kemampuan siswa dalam mempresentasikan atau mengungkapkan hasil pemikiran mereka; (4) tahap elaboration yang menekankan pada kemampuan siswa dalam menyelesaikan soal pemecahan masalah; dan (5) tahap evaluation yang menekankan pada pemberian soal quiz atau open-ended question untuk mengetahui bagaimana hasil belajar yang dicapai siswa.

Kata kunci: komunikasi matematis, Learning Cycle 5E
A.      Pendahuluan
Komunikasi merupakan komponen yang penting dalam proses pembelajaran tak terkecuali dalam pembelajaran matematika. karakteristik matematika yang abstrak, sarat dengan istilah dan simbol, mengakibatkan banyak siswa yang hanya menelan mentah saja semua meteri tersebut tanpa mencoba untuk memahami informasi apa yang terkandung di dalamnya. Kebanyakan siswa menerapkan metode menghafal rumus untuk belajar matematika, padahal esensi dari pembelajaran matematika bukanlah menghafal melainkan seperti yang tercantum dalam permen nomor 22 tahun 2006.
Tujuan pembelajaran matematika poin keempat yang tercantum dalam permen nomor 22 tahun 2006 adalah agar siswa mampu mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah. Dengan demikian, jelas bahwa komunikasi matematis merupakan salah satu kemampuan penting yang harus dikembangkan dalam diri siswa.
Namun beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa kemampuan komunikasi matematis di Indonesia masih kurang baik. Survei yang dilakukakan Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS) menunjukkan bahwa penekanan pembelajaran matematika di Indonesia lebih banyak pada penguasaan keterampilan dasar, hanya sedikit sekali penekanan penerapan matematika dalam konteks kehidupan sehari-hari, berkomunikasi secara matematis, dan bernalar secara matematis. Selanjutnya, hasil penelitian Tim Pusat Pengembangan Penataran Guru Matematika juga mengungkapkan bahwa di beberapa wilayah Indonesia yang berbeda, sebagian besar siswa kesulitan dalam menyelesaikan soal-soal pemecahan masalah dan menerjemahkan soal kehidupan sehari-hari ke dalam model matematika (Fadjar Shadiq, 2007: 2-3). Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan komunikasi dan pemecahan masalah matematis siswa Indonesia masih kurang baik.
Selanjutnya, observasi yang dilakukan oleh peneliti di SMP Negeri 2 Sleman juga menunjukkan bahwa rendahnya kemampuan komunikasi matematis juga dialami oleh siswa kelas IX B di SMP Negeri 2 Sleman. Hal-hal yang mengindikasikan masih rendahnya kemampuan komunikasi matematis siswa dalam pembelajaran yaitu: (1) siswa kurang percaya diri dalam mengomunikasikan gagasannya dan masih ragu-ragu dalam mengemukakan jawaban ketika ditanya oleh guru; (2) ketika ada masalah yang disajikan dalam bentuk soal cerita siswa masih bingung bagaimana menyelesaikannya, mereka kesulitan dalam membuat model matematis dari soal cerita tersebut; (3) siswa belum mampu mengomunikasikan ide atau pendapatnya dengan baik, pendapat yang disampaikan oleh siswa sering kurang terstruktur sehingga sulit dipahami oleh guru maupun temannya. Berdasarkan uraian di atas maka perlu dilakukan penelitian yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan komunikasi matematis siswa. Cara meningkatkan kemampuan komunikasi matematis yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan mengimplementasikan model pembelajaran Learning Cycle 5E.
B.      Komunikasi Matematis
Komunikasi matematis merupakan suatu cara siswa untuk mengungkapkan ide-ide matematis baik secara lisan, tertulis, gambar, diagram, menggunakan benda, menyajikan dalam bentuk aljabar, atau menggunakan simbol matematika. Siswa yang memperoleh kesempatan dan dorongan untuk berbicara, menulis, membaca, dan mendengarkan dalam pembelajaran matematika mendapatkan dua hal sekaligus, yaitu berkomunikasi untuk mempelajari matematika (communicate to learn mathematics) dan belajar untuk berkomunikasi secara matematis (learn to communicate mathematically) (NCTM, 2000: 60). Dalam (Depdiknas, 2004: 24) juga disebutkan bahwa komunikasi matematis merupakan kesanggupan atau kecakapan siswa untuk menyatakan dan menafsirkan gagasan matematis secara lisan, tertulis, atau mendemonstrasikan apa yang ada dalam persoalan matematika. 

Demikian pentingnya komunikasi matematis dalam pembelajaran matematika ini, sehingga dalam Principles and Standards for School Mathematics dari NCTM tahun 2000 disebutkan bahwa program-program pembelajaran matematika dari pra-TK hingga kelas 12 hendaklah memberikan kesempatan kepada seluruh siswa untuk (1) Mengatur dan menggabungkan pemikiran matematis mereka melalui komunikasi; (2) Mengomunikasikan pemikiran matematis mereka secara logis dan jelas kepada teman-teman, guru, dan orang lain; (3) Menganalisis dan mengevaluasi pemikiran serta strategi-strategi matematika orang lain; (4) Menggunakan bahasa matematika untuk mengekspresikan ide-ide matematis dengan tepat (NCTM, 2000: 60).
Berdasarkan Principles and Standards for School Mathematics dari NCTM tahun 2000 (Yonandi, 2010: 276) kemampuan komunikasi matematis siswa dapat dilihat dari beberapa aspek berikut:
1.          Kemampuan menyatakan ide-ide matematis melalui lisan, tulisan, serta menggambarkan secara visual. Kemampuan ini menekankan pada kemampuan siswa dalam menjelaskan, menulis, maupun membuat sketsa atau gambar tentang ide-ide matematis yang dimiliki untuk menyelesaikan masalah. Siswa hendaknya diberi kesempatan untuk berdiskusi bersama siswa lain untuk berbicara tentang matematika. Hal ini sesuai dengan pendapat John A. Van de Walle  (2008: 4-5) yang mengatakan bahwa diskusi antarsiswa akan dapat mengeksplorasi ide-ide matematis dari berbagai sudut pandang siswa sehingga dapat menambah pemahaman matematika mereka. Selain itu, mengubah satu penyajian ke dalam bentuk penyajian lain seperti gambar merupakan cara penting untuk menambah pemahaman terhadap suatu ide karena dapat memperluas interpretasi nyata dari suatu soal.
2.          Kemampuan menginterpretasikan dan mengevaluasi ide-ide matematis baik secara lisan maupun tertulis.
Dalam Principles and Standards for School Mathematics (NCTM, 2000: 271) disebutkan bahwa “Teachers should identify and use tasks that afford students opportunities to interpret and justify mathematical ideas.” Jadi untuk aspek yang kedua ini meliputi dua kemampuan yaitu:
a.    Kemampuan siswa dalam menginterpretasikan (menafsirkan) ide-ide matematis yang terdapat dalam persoalan matematika. Artinya siswa harus dapat memahami dengan baik apa yang dimaksudkan dari suatu soal dan dapat merumuskan kesimpulan dari masalah yang diberikan. Siswa dapat saling bertukar ide mengenai pokok permasalahan yang dimaksudkan dalam soal. Siswa juga dapat menuliskan informasi-informasi yang terdapat dalam soal untuk memperjelas masalah dan selanjutnya siswa akan dapat membuat kesimpulan yang benar di akhir jawabannya.
b.    Kemampuan siswa dalam mengevaluasi ide-ide matematis tercantum dalam Principles and Standards for School Mathematics (NCTM, 2000: 349) yaitu “High school students should be good critics and good self-critics.” Lebih lanjut Yackel dan Cobb (1996) dalam NCTM (2000: 268) juga menyatakan bahwa “Explanations should include mathematical arguments and rationales, not just procedural descriptions or summaries.” Jadi kemampuan ini menekankan pada kemampuan siswa dalam menjelaskan dan memberikan alasan tentang benar tidaknya suatu penyelesaian
3.          Kemampuan dalam menggunakan istilah-istilah, simbol-simbol matematika, dan struktur-strukturnya untuk memodelkan situasi atau permasalahan matematika.
Menurut Widiarti dan Pamuntjak (1999: 1) pemodelan matematis adalah suatu cara untuk mendeskripsikan beberapa fenomena kehidupan nyata dalam istilah matematika (secara matematika). Selanjutnya dalam (NCTM, 2000: 349) disebutkan “… the students should use mathematical language and symbols correctly and appropriately.” Jadi kemampuan ini menekankan pada kemampuan siswa dalam melafalkan maupun menuliskan istilah-istilah, simbol-simbol matematika, dan struktur-strukturnya dengan tepat untuk memodelkan permasalahan matematika.
 
Pendapat lain yang hampir senada diungkapkan oleh Utari Sumarmo (2003: A19-4) yang menyatakan bahwa indikator yang dapat mengungkapkan kemampuan komunikasi matematis antara lain:
1.      Merefleksikan benda-benda nyata, gambar, dan diagram ke dalam ide matematis.
2.      Membuat model situasi atau persoalan menggunakan metode lisan, tertulis, konkrit, grafik, dan aljabar.
3.      Menyatakan peristiwa sehari-hari dalam bahasa atau simbol matematika.
4.      Mendengarkan, berdiskusi, dan menulis tentang matematika.
5.      Membaca dengan pemahaman suatu presentasi matematika tertulis.
6.      Membuat konjektur (dugaan), menyusun argumen, dan membuat generalisasi.

Sementara itu Bansu Irianto Ansari (2003: A42-2) menelaah kemampuan komunikasi matematis dari dua aspek yaitu komunikasi lisan (talking) dan komunikasi tulisan (writing). Komunikasi lisan diungkap melalui intensitas keterlibatan siswa dalam kelompok kecil selama berlangsungnya proses pembelajaran. Sedangkan yang dimaksud dengan komunikasi tulisan (writing) adalah kemampuan siswa menggunakan kosa kata (vocabulary), notasi, dan struktur matematika untuk menyatakan hubungan dan gagasan serta memahaminya dalam memecahkan masalah. Kemampuan komunikasi matematis secara tertulis dapat diungkap melalui representasi matematis. Representasi matematis siswa menurut Cai Jakabscin (Bansu Irianto Ansari, 2003) diklasifikasikan dalam tiga kategori yaitu: (1) Pemunculan model konseptual, seperti gambar, diagram, tabel, dan grafik (aspek drawing); (2) Membentuk model matematika (aspek mathematical expression); (3) Argumentasi verbal yang didasari pada analisis terhadap gambar dan konsep-konsep formal (aspek written text).

Dari beberapa pendapat ahli di atas peneliti menyimpulkan bahwa kemampuan komunikasi matematis siswa pada dasarnya dapat ditinjau dari kemampuan komunikasi lisan dan tulisan. Dalam penelitian ini aspek yang digunakan untuk mengungkap kemampuan komunikasi matematis mengacu pada pendapat NCTM karena dianggap lebih jelas dalam mendeskripsikan setiap aspek-aspeknya. Aspek kemampuan komunikasi matematis yang akan diukur dalam penelitian ini meliputi:
1.        Kemampuan menyatakan ide-ide matematis melalui lisan, tulisan, serta menggambarkan secara visual.
2.        Kemampuan menginterpretasikan dan mengevaluasi ide-ide matematis baik secara lisan maupun tertulis.
3.        Kemampuan dalam menggunakan istilah-istilah, simbol-simbol matematika, dan struktur-strukturnya untuk memodelkan situasi atau permasalahan matematika. 
 
C.      Learning Cycle 5E
Learning Cycle merupakan suatu model pembelajaran sains yang berbasis konstuktivistik. Model ini dikembangkan oleh J. Myron Atkin, Robert Karplus dan Kelompok SCIS (Science Curriculum Improvement Study), di Universitas California, Berkeley, Amerika Serikat sejak tahun 1967 (Dean Zollman & N. Sanjay Rebello, 1998:1). Teori konstruktivisme memandang bahwa belajar merupakan suatu proses membangun pengetahuan sedikit demi sedikit, yang kemudian hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas dan tidak sekonyong-konyong. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta, konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil atau diingat. Manusia harus mengonstruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata (Baharuddin dan Esa Nur Wahyuni, 2007: 115-116).
Menurut Soebagio, dkk (2001: 50) learning cycle merupakan suatu model pembelajaran yang memungkinkan siswa menemukan konsep sendiri atau memantapkan konsep yang dipelajari, mencegah terjadinya kesalahan konsep, dan memberikan peluang kepada siswa untuk menerapkan konsep-konsep yang telah dipelajari pada situasi baru. Implementasi model pembelajaran learning cycle dalam pembelajaran sesuai dengan pandangan kontruktivisme dimana pengetahuan dibangun pada diri peserta didik. Beberapa keuntungan diterapkannya model pembelajaran learning cycle adalah (1) Pembelajaran bersifat student centered; (2) Informasi baru dikaitkan dengan pengetahuan yang telah dimiliki siswa; (3) Orientasi pembelajaran adalah investigasi dan penemuan yang merupakan pemecahan masalah; (4) Proses pembelajaran menjadi lebih bermakna karena mengutamakan pengalaman nyata; (5) Menghindarkan siswa dari cara belajar tradisional yang cenderung menghafal; dan (6) Membentuk siswa yang aktif, kritis, dan kreatif
Thomas E. Lauer (2003: 518) menuturkan learning cycle pada mulanya terdiri dari tiga tahap yaitu exploration, concept introduction dan concept application (E-I-A). 
Tiga tahap tersebut saat ini berkembang menjadi lima tahap yang dikenal dengan nama 5E (engagement, exploration, explanation, elaboration/extention, dan evaluation). Langkah-langkah dalam setiap tahap pembelajaran learning cycle 5e dijelaskan oleh Anthony W. Lorsbach (2002) sebagai berikut: (1) Tahap engagement. Pada tahap ini guru menyiapkan atau mengondisikan siswa untuk belajar, membangkitkan minat siswa pada pelajaran matematika, dan melakukan tanya jawab dalam mengeksplorasi pengetahuan awal siswa; (2) Tahap exploration. Pada tahap ini siswa bekerja sama dalam kelompok-kelompok kecil untuk mengerjakan LKS tanpa pengajaran langsung dari guru. Siswa mempelajari konsep sendiri dari berbagai sumber yang dimiliki dan mendiskusikan dengan teman kelompoknya. Dalam hal ini guru berperan sebagai fasilitator; (3) Tahap explanation. Tahap ini merupakan tahap diskusi klasikal. Pada tahap ini siswa menjelaskan konsep hasil temuan kelompoknya dengan kata-kata mereka sendiri, menunjukkan bukti dan klarifikasi dari penjelasan mereka, serta membandingkan argumen yang mereka miliki dengan argumen dari siswa lain; (4) Tahap elaboration. Pada tahap ini siswa mengaplikasikan konsep yang mereka dapatkan untuk menyelesaikan soal-soal pemecahan masalah; dan (5) Tahap evaluation. Evaluasi dapat dilakukan melalui pemberian tes (quiz) atau open-ended question di akhir pembelajaran untuk mengetahui sejauh mana tingkat pemahaman siswa terhadap konsep yang dipelajari. 
Setiap tahap yang terstruktur dalam learning cycle 5e memiliki manfaat yang positif bagi siswa karena mengindikasikan pembelajaran yang bersifat student­-centered. Proses pembelajaran bukan lagi sekedar transfer pengetahuan dari guru ke siswa, tetapi merupakan proses pemerolehan konsep yang berorientasi pada keterlibatan siswa secara aktif dan langsung. Proses pembelajaran demikian akan lebih bermakna, menghindarkan siswa dari cara belajar tradisional yang cenderung menghafal, dan menjadikan skema dalam diri siswa yang setiap saat dapat diorganisasi oleh siswa untuk menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi.
D.      Metode penelitian
Penelitian ini merupakan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) dengan subjek penelitian adalah siswa kelas IX B SMP Negeri 2 Sleman yang berjumlah 36 siswa yang terdiri dari 19 siswa laki-laki dan 17 siswa perempuan dengan karakteristik yang berbeda, baik kemampuan prestasi maupun tingkat sosial ekonomi. Subjek penelitian
ditentukan setelah peneliti melakukan observasi dan berkonsultasi dengan guru matematika kelas IX. Kelas IX B dipilih karena berdasarkan observasi yang dilakukan, dalam kelas inilah yang mengindikasikan kemampuan komunikasi matematis yang masih rendah.
Penelitian ini mengacu pada model penelitian tindakan kelas spiral dari Kemmis dan Taggart. Menurut Kemmis dan Taggart (Rochiati Wiriaatmadja, 2006: 66), terdapat empat tahapan dalam setiap siklus penelitian tindakan kelas yaitu perencanaan, pelaksanaan tindakan, observasi, dan refleksi. Siklus akan berakhir jika hasil penelitian yang diperoleh telah memenuhi indikator keberhasilan yang ditetapkan. Sedangkan teknik pengumpulan data pada penelitian ini adalah observasi dan tes. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: (1) Tes tertulis; (2) Lembar observasi kemampuan komunikasi matematis; (3) Lembar observasi keterlaksanaan pembelajaran; (4) Rubrik penilaian hasil tes kemampuan komunikasi matematis; dan (5) Catatan lapangan. 
Data berupa catatan lapangan, hasil observasi, dan tes tertulis dianalisis menggunakan analisis deskriptif kualitatif. Analisis data dalam penelitian ini dilakukan melalui tiga tahap yaitu: (1) Reduksi data, yaitu kegiatan pengelolaan data (mulai dari editing, koding, hingga tabulasi data). Hasil pengumpulan data dipilah-pilah ke dalam satuan konsep tertentu, kategori tertentu, atau tema tertentu  (Burhan Bungin, 2005: 70); (2) Penyajian data, yaitu mengorganisasikan data ke dalam suatu bentuk tertentu sehingga terlihat bentuk datanya secara lebih utuh (Burhan Bungin, 2005: 70), dan (3) Triangulasi atau pemeriksaan keabsahan data dengan memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu (Lexy J. Moleong, 1996: 178). Dalam penelitian ini triangulasi dilakukan dengan menggunakan teknik pengumpulan data yang berbeda yaitu observasi, tes, dan catatan lapangan.
A.      Hasil Penelitian dan Pembahasan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan pembelajaran Learning Cycle 5E yang dapat meningkatkan kemampuan komunikasi matematis siswa kelas IX B SMP Negeri 2 Sleman terdiri dari 5 tahap pembelajaran yaitu: (1) tahap engagement yang menekankan pada pemberian materi apersepsi dan pengetahuan awal siswa; (2) tahap exploration yang menekankan pada optimalisasi diskusi kelompok; (3) tahap explanation yang menekankan pada kemampuan siswa dalam mempresentasikan atau mengungkapkan hasil pemikiran mereka; (4) tahap elaboration yang menekankan pada kemampuan siswa dalam menyelesaikan soal pemecahan masalah; dan (5) tahap evaluation yang menekankan pada pemberian soal quiz atau open-ended question untuk mengetahui bagaimana hasil belajar yang dicapai siswa. Dengan pelaksanaan pembelajaran tersebut, persentase kemampuan komunikasi matematis yang berhasil dicapai siswa meningkat dari 56,50% di sklus I menjadi 69,21% di siklus II (telah mencapai kategori tinggi menurut lembar observasi) dan menurut hasil tes, kemampuan komunikasi matematis siswa juga mengalami peningkatan dari 63,58% di siklus I menjadi 70,11% di siklus II (telah mencapai kategori baik).
Dari tahap-tahap pembelajaran Learning Cycle 5E, kemampuan komunikasi matematis siswa secara lisan dioptimalkan pada tahap exploration dan explanation. Pada tahap exploration dan explanation, kegiatan siswa dalam diskusi kelompok maupun diskusi klasikal dapat menunjang kemampuan komunikasi matematisnya secara lisan. Pada tahap ini siswa diberi kesempatan seluas-luasnya untuk mengungkapkan gagasan-gagasan matematis yang dimiliki. Mereka dapat saling bertukar ide secara leluasa dalam menyelesaikan permasalahan. Sedangkan untuk meningkatkan kemampuan komunikasi matematis siswa secara tertulis, lebih dioptimalkan pada tahap elaboration. Pada tahap ini siswa mengerjakan soal-soal pemecahan masalah sehingga sangat penting untuk memperhatikan langkah-langkah pengerjaan siswa. Siswa dilatih untuk dapat menyusun jawaban yang terstruktur dengan baik. Penulisan simbol, istilah, dan struktur kalimat matematika juga penting untuk diperhatikan. Hal ini tentunya dapat mendukung pengembangan kemampuan komunikasi matematis siswa secara tertulis.
Namun tidak dapat dipungkiri bahwa hasil yang diperoleh memang masih belum optimal dan kenaikan persentase hasil pencapaian komunikasi matematis siswa yang terjadi tidak terlalu signifikan walaupun sudah mencapai kategori tinggi dan baik. Salah satu penyebabnya adalah keterbatasan waktu. Karena model pembelajaran learning cycle 5e merupakan salah satu model pembelajaran kooperatif maka jelas dibutuhkan waktu yang lebih lama dalam proses pembelajarannya dibandingkan dengan model pembelajaran konvensional. Dalam pelaksanaannya sering dibutuhkan tambahan waktu untuk menyelesaikan setiap tahap pembelajaran dari waktu yang telah ditetapkan. Hal ini mengakibatkan tahap-tahap pembelajaran learning cycle 5e kadang-kadang tidak dapat dilaksanakan dalam satu kali tatap muka. Selain itu kemampuan (cepat atau lambatnya) siswa yang berbeda-beda dalam memahami suatu materi sehingga hasil yang diperoleh tidak merata bagi semua siswa. Ada siswa yang mengalami peningkatan, ada pula yang mengalami penurunan. Maka sebaiknya penelitian ini masih dilanjutkan ke siklus berikutnya untuk melihat apakah hasil yang diperoleh konsisten atau tidak. Namun karena keterbatasan waktu dan izin dari pihak sekolah maka penelitian ini hanya dapat dilakukan sebanyak dua siklus saja.

f.      Simpulan dan Saran
Berdasarkan pembahasan di atas, secara umum dapat disimpulkan bahwa pembelajaran matematika menggunakan model pembelajaran Learning Cycle 5E telah mampu membuat siswa kelas IX B SMP Negeri 2 Sleman memiliki kemampuan komunikasi matematis yang baik. Tahapan-tahapan dalam model pembelajaran Learning Cycle 5E yang dapat meningkatkan kemampuan komunikasi matematika pada siswa kelas IX B SMP Negeri 2 Sleman dapat diuraikan sebagai berikut:
1.        Tahap Engagement. Pada tahap ini yang perlu diperhatikan adalah pemberian apersepsi dan pengetahuan awal siswa tentang materi. Dalam hal ini guru harus mempertimbangkan kemampuan akademik siswa sehingga dapat mengatur kedalaman penyampaian materi sebagai pengetahuan awal siswa.
2.        Tahap Exploration. Siswa bekerja sama dalam kelompok-kelompok kecil untuk mempelajari konsep dari berbagai sumber. Guru sebagai fasilitator dapat memotivasi, mengawasi, dan mendampingi siswa agar siswa lebih aktif dalam kelompok.
3.        Tahap Explanation. Siswa mengungkapkan hasil pemikiran mereka dengan kata-kata mereka sendiri, menunjukkan bukti dan klarifikasi dari penjelasan mereka, serta membandingkan argumen yang mereka miliki dengan argumen yang dari siswa lain. Pada tahap ini guru harus dapat menumbuhkan rasa percaya diri siswa agar lebih berani dalam mengungkapkan hasil pemikirannya.
4.        Tahap Elaboration. Siswa menerapkan konsep dan keterampilan yang telah mereka kuasai dalam situasi yang baru dengan mengerjakan soal-soal pemecahan masalah. Soal-soal yang dirasa sulit kemudian dibahas dengan bimbingan guru. Dalam menentukan jumlah dan tingkat kesukaran soal harus disesuaikan dengan waktu dan kemampuan siswa.
5.        Tahap Evaluation. Untuk mengetehui sejauh mana pemahaman siswa terhadap konsep yang dipelajari guru dapat memberikan soal quiz atau open-ended question.
Selanjutkan, berdasarkan temuan di atas dikemukan saran berikut: (1) Model pembelajaran Learning Cycle 5E dapat digunakan guru sebagai salah satu alternatif cara untuk meningkatkan kemampuan komunikasi matematis siswa; (2) Agar pelaksanaan pembelajaran Learning Cycle 5E dapat berjalan dengan efektif guru perlu memberikan batasan waktu yang tegas dalam pelaksanaan setiap tahapan pembelajarannya; (3) Guru harus selalu memotivasi siswa untuk aktif dalam kegiatan diskusi selama pembelajaran sehingga kemampuan komunikasi matematis siswa khususnya secara lisan dapat semakin berkembang; dan (4) Karena peningkatan kemampuan komunikasi matematis yang terjadi termasuk kecil maka perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk melihat berapa lama pembelajaran learning cycle 5e diimplementasikan agar dampaknya terhadap peningkatan kemampuan komunikasi matematis termasuk tinggi atau signifikan.

A.      Daftar Pustaka

Anthony W. Lorsbach. 2002. The Learning Cycle as a Tool for Planning Science Instruction. Illionis State University. Tersedia di http://coe.ilstu.edu/scienceed/lorsbach/257lrcy.htm (diakses tanggal 23 Februari 2010)

Baharudin dan Esa Nur Wahyuni. 2007. Teori Belajar dan Pembelajaran. Yogyakarta : Ar-Ruzz Media.

Bansu Irianto Ansari. 2003. Menumbuh Kembangkan Kemampuan Pemahaman dan Komunikasi Matematika Siswa SMU melalui Strategi Think-Talk-Write. Makalah National Seminar On Science And Mathematics. FMIPA-UPI in cooperation with JICA. Dirjen Dikti Depdiknas. 25 Agustus 2003.

Burhan Bungin. 2005. Analisis Data Penelitian Kualitatif. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Depdiknas. 2004. Materi Pelatihan Terintegrasi Buku 3 Matematika. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.

Dean Zollman & N. Sanjay Rebello. 1998. Learning Cycles – Curricula Based on Research. Physics Education Research Conference. University of Nebraska – Lincoln. August 1-2, 1998. Tersedia di: http://web.phys.ksu.edu/papers/concepts/LCIntro.pdf (diakses tanggal 20 Januari 2010)

Fajar Shadiq. 2007. Laporan Hasil Seminar dan Lokakarya Pembelajaran Matematika 15–16 Maret 2007 di P4TK (PPPG) Matematika. Yogyakarta. Tersedia di: http://fadjarp3g.files.wordpress.com/2008/06/07-lapsemlok_limas.pdf (diakses tanggal 10 Oktober 2010)

John A. Van de Walle. 2008. Matematika Sekolah Dasar dan Menengah (Dr. Suyono, M. Si. Terjemahan). Jakarta: Penerbit Erlangga.

Lexy J. Moleong. 1996. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

The National Council of Teachers of Mathematics (NCTM). 2000. Principles and Standards for School Mathematics. Reston, VA: NCTM.

Thomas E. Lauer. Conceptualizing A Learning Cycle Approach. The American Biology Teacher, 65(7), 518-522. Published by: National Association of Biology Teachers. Tersedia di: http://www.jstor.org/pss/4451551 (diakses tanggal 23 Februari 2010)

Permen No. 22 Tahun 2006

Soebagio, Soetarno, dan Wiwik H. 2001. Penggunaan Daur Belajar Untuk Peningkatan Kualitas Pembelajaran dan Pemahaman Konsep Sel Elektrolisis Pada Siswa Kelas III SMU Negeri 2 Jombang. Media Komunikasi Kimia. Jurnal Ilmu Kimia dan Pembelajarannya. 5 Pebruari 2001.

Utari Sumarmo. 2003. Pembelajaran Keterampilan Membaca Matematika Pada Siswa Sekolah Menengah. Makalah National Seminar On Science And Mathematics. FMIPA-UPI in cooperation with JICA. Dirjen Dikti Depdiknas. 25 Agustus 2003.

Widiarti, S. dan Pamuntjak, R. J. 1999. Persamaan Differensial Biasa. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Yonandi, M. T. 2010. Meningkatan Kemampuan Komunikasi Dan Pemecahan Masalah Matematik Melalui Pembelajaran Berbantuan Komputer (Computer-Assisted Instructions). Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika FMIPA UNY. Yogyakarta 17 April 2010.








2 komentar: