Senin, 26 Desember 2011

EFEKTIVITAS METODE PEMBELAJARAN GOTONG ROYONG (COOPERATIVE LEARNING) UNTUK MENURUNKAN KECEMASAN SISWA DALAM MENGHADAPI PELAJARAN MATEMATIKA (Suatu studi Eksperimental pada Siswa di SMP 26 Semarang) Jurnal Psikologi Universitas Diponegoro Vol.3 No. 1, Juni 2006

      Novita Eka Indiyani, Anita Listiara
Program Studi Psikologi Universitas Diponegoro

                                          ABSTRAK
         Matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang dianggap momok bagi sebagian
pelajar, termasuk siswa SMP. Anggapan negatif tersebut semakin berkembang dengan adanya
kenaikan standar kelulusan, khususnya untuk nilai matematika, yang enyebabkan banyak siswa
tidak lulus pada tahun 2004. Salah satu faktor yang dapat berpengaruh buruk terhadap prestasi
matematika siswa adalah kecemasan. Kecemasan itu sendiri muncul karena berbagai sebab, salah
satunya situasi belajar yang menekan. Guru memegang peranan penting dalam mencari alternatif
untuk mengatasi kecemasan siswa, seperti dengan menciptakan situasi belajar yang terstruktur,
menyenangkan, dan dapat memberikan rasa aman bagi siswa. Cooperative Learning diduga
efektif untuk mengatasi kecemasan siswa dalam menghadapi pelajaran matematika. Cooperative
Learning merupakan metode belajar kelompok yang terstruktur, dengan pengelolaan kelas,
penataan ruang kelas, dan teknik-teknik mengajar tertentu.
         Karakteristik subjek penelitian ini adalah siswa kelas dua, skor kecemasan dalam
menghadapi pelajaran matematika tinggi, siswa belum pernah diberi materi belajar matematika
dengan metode Cooperative Learning, siswa tidak sedang mengikuti pelajaran/kursus/les
matematika diluar jam sekolah. Penelitian ini menggunakan desain non-randomized control
group pretest-posttest design. Pemilihan subjek menggunakan metode pair matching (padanan
sepasang) berdasarkan hasil pretest skala kecemasan siswa dalam menghadapi pelajaran
matematika. Subjek penelitian pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol masing-masing
berjumlah 16 orang. Pengambilan data
dilakukan dengan wawancara, observasi, pengisian skala kecemasan siswa dalam menghadapi
pelajaran matematika, dokumentasi, dan tes berupa ulangan matematika.
         Hasil pengujian hipotesis yang dilakukan dengan menggunakan teknik Independent
Sample T Test menghasilkan perbedaan mean sebesar 12,63 dengan p=0,003 (p<0,05). Hasil
tersebut menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan skor kecemasan siswa dalam
menghadapi pelajaran matematika kelompok eksperimen yang mendapat perlakuan berupa
belajar matematika dengan metode Cooperative Learning dan kelompok kontrol yang tidak
mendapat perlakuan.
Kata Kunci : Kecemasan dalam menghadapi pelajaran matematika, Cooperative
Learning, siswa SMP.
PENDAHULUAN
         Sekolah merupakan lembaga pendidikan formal yang disediakan bagi peserta didik untuk
menuntut ilmu. Selama belajar di sekolah, para peserta didik diwajibkan untuk mengikuti semua
mata pelajaran sesuai dengan kurikulum yang telah ditetapkan. Matematika merupakan salah satu
mata pelajaran yang diberikan di semua sekolah, baik di jenjang pendidikan dasar maupun
pendidikan menengah. Matematika yang diberikan di jenjang persekolahan itu yang sekarang
disebut sebagai matematika sekolah (Soedjadi, 2000. h.3). Soedjadi (2000. h.11) menyebutkan
beberapa definisi matematika, antara lain matematika adalah cabang ilmu pengetahuan eksak dan
terorganisir secara sistematik, matematika adalah pengetahuan tentang bilangan dan kalkulasi,
matematika adalah pengetahuan tentang penalaran logik dan berhubungan dengan bilangan.
         Johnson dan Myklebush (1967, dikutip Abdurrahman, 1999. h.252) mendefinisikan
matematika sebagai bahasa simbolis yang fungsi praktisnya adalah untuk mengekspresikan
hubungan-hubungan kuantitatif dan keruangan sedangkan fungsi teoritisnya adalah untuk
memudahkan berpikir. Berdasarkan pengertian-pengertian tentang matematika tersebut, maka
dapat disimpulkan bahwa matematika merupakan salah satu cabang pengetahuan eksak yang
berhubungan dengan bilangan dan kalkulasi, sebagai bahasa simbolis untuk menunjukkan
hubungan kuantitatif dan keruangan dengan penalaran yang logis, serta memudahkan dalam
berpikir.
         Banyak alasan tentang perlunya siswa belajar matematika. Salah satu alasan mengapa
matematika dipelajari adalah karena berguna, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun sebagai
bahasa dan alat dalam pengembangan sains dan teknologi (Sembiring, 2002). Cockrof (dikutip
Abdurrahman, 1999. h.253) menyebutkan alasan-alasan perlunya belajar matematika, yaitu
matematika selalu digunakan dalam segala segi kehidupan, semua bidang studi memerlukan
ketrampilan matematika yang sesuai, matematika merupakan sarana komunikasi yang kuat,
singkat, dan jelas, matematika dapat digunakan untuk menyajikan informasi dalam berbagai cara,
matematika dapat meningkatkan kemampuan berpikir logis, teliti, dan kesadaran akan keruangan,
dan matematika dapat memberikan kepuasan terhadap usaha untuk memecahkan masalah yang
menantang.
         Berdasarkan uraian di atas, dapat dinyatakan bahwa matematika berguna dan erat
kaitannya dengan segala segi kehidupan manusia, khususnya bagi pelajar. Ironisnya, matematika
dianggap sebagai momok bagi pelajar (Surya, 2005). Anggapan tersebut menjadi masalah klasik
yang terjadi pada hampir semua jenjang pendidikan dari Sekolah Dasar hingga Pendidikan
Tinggi. Pada kenyataannya, masih ada image yang menganggap matematika sebagai pelajaran
yang sulit.
         Abdurrahman (1999, h.252) menyatakan bahwa dari berbagai bidang studi yang
diajarkan di sekolah, matematika merupakan bidang studi yang dianggap paling sulit bagi para
siswa, baik bagi mereka yang tidak berkesulitan belajar maupun bagi siswa yang berkesulitan
belajar. Anggapan bahwa matematika merupakan mata pelajaran yang sulit sudah melekat pada
sebagian besar siswa, sehingga pada saat menghadapi pelajaran matematika siswa menjadi malas
untuk berpikir (Surya, 2005). Selain karena image yang telah melekat pada diri siswa, guru juga
berpengaruh terhadap munculnya anggapan siswa bahwa matematika adalah momok.
         Kondisi tersebut sesuai dengan hasil wawancara yang dilakukan peneliti di SMP 26
Semarang pada tanggal 6 April 2005. Menurut penuturan salah seorang guru matematika di
sekolah tersebut, siswa yang merasa kesulitan belajar matematika semakin merasa sulit ketika
guru memberikan tekanan kepadanya. Misalnya guru marah ketika Siswanya tidak mengerti
dengan apa yang dijelaskan, padahal guru tersebut telah menjelaskan suatu materi berulang kali.
Akibatnya siswa semakin merasa matematika sebagai momok.
         Anggapan negatif bahwa matematika merupakan momok semakin berkembang terkait
dengan adanya kenaikan standar kelulusan siswa SLTP dan SLTA dari 3,01 menjadi 4,01 untuk
masing-masing mata pelajaran yang diujikan dalam Ujian Akhir Nasional (UAN). Ketentuan
tersebut berlaku mulai tahun 2004, dengan tiga mata pelajaran standar yang wajib diujikan, yaitu
: Matematika, Bahasa Indonesia, dan Bahasa Inggris. Bahkan mulai tahun 2005, standar
kelulusan dinaikkan lagi dari 4,01 menjadi 4,26.
         Kegagalan siswa saat uji coba Ujian Nasional terbukti dalam Ujian Nasional sebenarnya.
Angka ketidaklulusan siswa meningkat hampir dua kali lipat dibandingkan dengan ketidaklulusan
tahun 2004. Ketidaklulusan para pelajar tersebut kebanyakan terdapat pada mata pelajaran
matematika (Hikmat, 2005). Kasus tersebut terjadi di berbagai daerah seperti Garut dan
Semarang. Di Garut, dari 19.759 siswa SMP yang mengikuti Ujian Akhir Nasional, sebanyak
1.646 dinyatakan tidak lulus atau kira-kira 8,33% dari keseluruhan peserta UAN tidak lulus ujian.
Ketidaklulusan tersebut kebanyakan terdapat pada mata pelajaran matematika dan bahasa inggris
(Hikmat,2005). Di Semarang, dari 55.502 siswa SMP peserta UN, sebanyak 6.666 siswa (12%)
tidak lulus (Anonim, 2005). Kasus serupa juga terjadi di luar Jawa, seperti di Pontianak, Sulawesi
Selatan, dan Aceh (Sugita, 2005).
         Salah satu faktor yang dapat berpengaruh buruk terhadap prestasi matematika siswa
adalah kecemasan. Seperti hasil penelitian yang dilakukan oleh Hecth dan Title (1992 dikutip
Elliott dkk, 1996. h.343), yang menunjukkan prestasi belajar matematika siswa SLTP yang buruk
karena kecemasan yang dialami oleh siswa itu sendiri. Hasil penelitian tersebut sejalan dengan
hasil penelitian Martin pada tahun 1995 yang menguji hubungan antara kecemasan matematika
dengan prestasi belajar matematika di sekolah. Penelitian yang dilakukan pada 125 siswa kelas
dua di SMP Sanata Dharma dan SMP Bopkri III Yogyakarta tersebut menunjukkan adanya
hubungan antara kecemasan matematika siswa dengan prestasi belajar matematika dengan hasil
korelasi sebesar 0,25 (Martin, 1996).
         Kecemasan dapat diartikan sebagai suatu perasaan yang tidak tenang, rasa khawatir, atau
ketakutan terhadap sesuatu yang tidak jelas atau tidak diketahui (Craig, 1992 dikutip Elliot dkk,
1996. h.343). Secara sederhana, kecemasan siswa dalam menghadapi pelajaran matematika dapat
diartikan sebagai suatu bentuk kecemasan secara khusus terhadap mata pelajaran matematika
yang biasanya dialami oleh siswa-siswa di sekolah (Martin, 1996). Kecemasan dapat dialami oleh
siswa manapun, baik yang mempunyai
         kemampuan akademis tinggi, sedang, maupun yang kemampuan akademisnya rendah.
Hanya saja penyebab dan tingkatannya yang berbeda-beda antara siswa satu dengan yang lain.
Kecemasan siswa dalam belajar ada yang tingkatannya tinggi, sedang, dan ada yang rendah.
Elliot dkk (1996. h.342) menyebutkan bahwa pada dasarnya kecemasan dalam tingkat yang
rendah dan sedang berpengaruh positif terhadap penampilan belajar siswa, salah satunya dapat
meningkatkan motivasi belajar, sedangkan kecemasan siswa pada taraf yang tinggi dapat
mengganggu dan memperburuk perilaku belajar siswa Kecemasan siswa itu sendiri
dilatarbelakangi oleh berbagai sebab. Kenyataan menunjukkan bahwa kecemasan siswa terhadap
matematika tidak hanya dialami oleh siswa yang mempunyai kemampuan yang rendah dalam
matematika. Berbagai faktor eksternal dari lingkungan sekitar siswa juga memberikan pengaruh
terhadap kecemasan matematika siswa (Martin, 1996).
         Slameto (2003. h.185) menyebutkan bahwa situasi belajar yang menekan cenderung
menimbulkan kecemasan pada diri siswa. Metode mengajar dengan model kompetisi merupakan
salah satu contohnya. Model mengajar dengan kompetisi mengkondisikan siswa belajar dalam
suasana penuh persaingan. Kondisi itu dapat menimbulkan rasa cemas dalam diri siswa (Lie,
2002. h.22). Persaingan antar siswa di dalam kelas memang diperlukan, salah satunya untuk
memacu motivasi belajar siswa, namun demikian, situasi belajar yang penuh persaingan dapat
berdampak negatif, kecemasan siswa merupakan salah satu akibatnya.
         Metode mengajar yang selama ini diterapkan di Indonesia juga menggunakan model
kompetisi. Terbukti dengan adanya sistem ranking yang digunakan untuk menunjukkan prestasi
siswa di sekolah. Sebagian masyarakat menjadikan ranking sebagai acuan untuk menunjukkan
apakah seorang siswa termasuk bodoh, pandai, atau biasa-biasa saja. Umumnya siswa yang
dianggap pandai adalah mereka yang memiliki ranking di urutan sepuluh besar. Siswa yang
dianggap bodoh biasanya pada urutan sepuluh terakhir.
         Guru memegang peranan penting dalam mencari alternatif untuk mengatasi kecemasan
siswa yang tidak berkesempatan mendapatkan pelajaran tambahan matematika di luar sekolah.
Salah satu alternatif yang dapat ditempuh adalah dengan menciptakan suasana belajar yang dapat
mengurangi tingkat kecemasan siswa. Fisher (1988, h.17) menyebutkan bahwa guru kelas dapat
membantu mengurangi kecemasan siswa dengan membuat suasana kelas yang menyenangkan,
seperti menggunakan humor, permainan, dan aktivitas dengan tingkat relaksasi tinggi.
Kecemasan siswa juga dapat dikurangi dengan memberikan rasa aman kepada siswa, suasana
santai tetapi teratur, dan juga dengan kurikulum dan jadwal yang terorganisir secara baik. Situasi
kelas yang penuh kompetisi sebaiknya juga tidak diterapkan. Pada dasarnya, guru diharapkan
dapat menerapkan suatu metode pembelajaran yang dapat mengurangi tingkat kecemasan siswa
sehingga pada akhirnya dapat meningkatkan perilaku dan prestasi belajar siswa.
         Beberapa negara, seperti Amerika Serikat dan Australia telah mengembangkan suatu
metode pembelajaran yang dianggap efektif untuk diterapkan di dalam ruang kelas. Metode
tersebut dikenal dengan Metode Pembelajaran Gotong Royong (Cooperative Learning). Metode
Pembelajaran Gotong Royong (Cooperative Learning) dapat didefinisikan sebagai suatu sistem
kerja atau belajar kelompok yang terstruktur (Lie, 2002. h.17). Struktur tersebut mencakup lima
unsur pokok, yaitu saling ketergantungan positif, tanggung jawab perseorangan, interaksi
personal, keahlian bekerja sama, dan evaluasi proses kelompok (Johnson dan Johnson, 1994
dikutip Abdurrahman, 1999. h.121). Lie (2002, h.54-72) menyebutkan ada berbagai teknik
mengajar yang dapat diterapkan dalam kelas dengan Metode Pembelajaran Gotong Royong
(Cooperative Learning). Sebagian besar teknik tersebut efektif untuk diterapkan dalam berbagai
bidang studi dan berbagai tingkatan umur peserta didik. Berbagai hasil penelitian menunjukkan
bahwa struktur kooperatif dibandingkan dengan struktur kompetisi dan usaha individual, lebih
menunjukkan komunikasi yang lebih efektif dan pertukaran informasi diantara siswa, saling
membantu tercapainya hasil belajar yang baik, lebih banyak bimbingan perorangan, berbagi
sumber diantara siswa, perasaan terlibat yang lebih besar, berkurangnya rasa takut akan gagal,
dan berkembangnya sikap saling percaya
diantara para siswa (Suparno, 2000. h.131).
         Hasil penelitian Garfield (1993) menyebutkan bahwa aktivitas belajar dalam Metode
Pembelajaran Gotong Royong (Cooperative Learning) dapat meningkatkan produktivitas
kelompok, mengembangkan sikap positif siswa, dan juga meningkatkan prestasi belajar siswa.
Sebenarnya metode mengajar dengan mengelompokkan siswa telah diterapkan dalam sistem
pendidikan di Indonesia, namun demikian, hasilnya masih kurang efektif. Kondisi tersebut
disebabkan karena pengelompokan-pengelompokan siswa dalam belajar kurang berpedoman
pada prinsip-prinsip tertentu, seperti guru yang membiarkan siswanya berdiskusi sendiri tanpa
memberi pengarahan atau tugas diserahkan sepenuhnya kepada kelompok tanpa menuntut
tanggung jawab tiap siswa (Lie, 2002. h.7).
        Pengelompokan belajar seperti telah disebutkan di atas mengakibatkan munculnya
berbagai sikap dan kesan negatif terhadap pelaksanaan metode kerja kelompok. Misalnya muncul
kekhawatiran bahwa akan terjadi kekacauan di kelas dan siswa tidak belajar jika mereka
ditempatkan dalam kelompok. Banyak siswa juga tidak senang bila harus bekerja sama dengan
siswa lain. Siswa yang tekun merasa harus bekerja melebihi siswa yang lain dalam kelompok
mereka, sedangkan siswa yang kurang mampu merasa minder bila ditempatkan dalam kelompok
bersama mereka yang pandai (Lie, 2002. h.8).
        Sebenarnya, pembagian kerja yang dirasa kurang adil seperti di atas tidak perlu terjadi
dalam kerja kelompok, jika pengajar benar-benar menerapkan prosedur model pembelajaran
Metode Pembelajaran Gotong Royong (Cooperative Learning) (Lie, 2002. h.28). Seperti telah
disebutkan di atas, Metode Pembelajaran Gotong Royong (Cooperative Learning) juga
menggunakan sistem kerja secara kelompok yang terstruktur dengan lima unsur pokok di
dalamnya, yaitu saling ketergantungan positif, tanggung jawab perorangan, tatap muka,
komunikasi antar anggota, dan evaluasi proses kelompok. Kelima unsur tersebut menjadi
kelebihan Metode Pembelajaran Gotong Royong (Cooperative Learning) dibandingkan dengan
metode belajar kelompok yang lain.
        Pengelolaan kelas dalam Metode Pembelajaran Gotong Royong (Cooperative Learning)
dilakukan dengan mengikuti prinsip-prinsip tertentu. Metode mengajar ini juga relatif mudah
untuk diterapkan dan tidak mahal, hanya diperlukan persiapan yang cukup, baik persiapan materi,
pengelolaan kelas, desain tempat duduk, maupun pengetahuan dan ketrampilan para pengajar
mengenai Metode Pembelajaran Gotong Royong (Cooperative Learning). Selain terbukti efektif,
metode pembelajaran ini juga cocok diterapkan di semua jenjang pendidikan. Tampaknya,
Metode Pembelajaran Gotong Royong (Cooperative Learning) cocok diterapkan dalam sistem
pendidikan di Indonesia karena metode pembelajaran ini menggunakan falsafah hidup bangsa
Indonesia, yaitu sifat gotong royong.
Berdasarkan uraian yang telah disebutkan di atas, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui
apakah Metode Pembelajaran Gotong Royong (Cooperative Learning) yang terbukti efektif
diterapkan dalam pendidikan di luar negeri juga efektif bila diterapkan dalam kegiatan belajar
mengajar di Indonesia. Fokus penelitian ini adalah meneliti efektivitas Metode Pembelajaran
Gotong Royong (Cooperative Learning) untuk menurunkan kecemasan siswa dalam menghadapi
pelajaran matematika.
        Secara teoritis, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai referensi pada bidang
Psikologi, khususnya Psikologi Pendidikan mengenai pengaruh Metode Pembelajaran Gotong
Royong (Cooperative Learning) untuk menurunkan kecemasan siswa dalam menghadapi
pelajaran matematika.
        Secara praktis, bagi siswa, diharapkan dapat membantu menurunkan kecemasan siswa
dalam menghadapi mata pelajaran matematika, sehingga nantinya dapat meningkatkan prestasi
belajar matematika siswa itu sendiri. Sedangkan bagi pengajar, penelitian ini diharapkan menjadi
masukan dan memberikan gambaran pada guru tentang Metode Pembelajaran Gotong Royong
(Cooperative Learning) untuk kemudian menerapkan Metode Pembelajaran Gotong Royong
(Cooperative Learning) dalam proses di belajar mengajar sebagai salah satu upaya untuk
menurunkan kecemasan siswa dalam menghadapi pelajaran matematika.
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kecemasan Siswa dalam Menghadapi Pelajaran Matematika
1. Pengertian kecemasan
        Kecemasan dalam Kamus Psikologi diartikan sebagai kegelisahan, kecemasan,
kekhawatiran yang kurang jelas atau tidak mendasar (Kartono dan Gulo,1987. h.24). Lebih lanjut,
Kartono (2002, h.129) menyebutkan bahwa kecemasan ialah semacam kegelisahan,
kekhawatiran, dan ketakutan terhadap sesuatu yang tidak jelas, yang difus atau baur dan
mempunyai ciri-ciri yang mengazab pada seseorang. Pengertian-pengertian di atas menekankan
bahwa penyebab kecemasan adalah sesuatu yang tidak jelas atau sesuatu yang dicemaskan oleh
seseorang merupakan sesuatu yang semestinya tidak menyebabkan orang tersebut menjadi cemas.
        Atkinson dkk (2001, h.212) menyebutkan bahwa kecemasan adalah perasaan tidak
menyenangkan, yang ditandai dengan istilah-istilah seperti kekhawatiran, keprihatinan, dan rasa
takut yang kadang-kadang dialami dalam tingkatan yang berbeda-beda. Serupa dengan
pernyataan tersebut, Hurlock (1997, h.221) mendefinisikan kecemasan sebagai keadaan mental
yang tidak enak berkenaan dengan sakit yang mengancam atau yang dibayangkan, yang ditandai
dengan kekhawatiran, ketidakenakan, dan prarasa yang tidak baik, yang tidak dapat dihindari
oleh seseorang. Kedua pengertian tersebut nampaknya lebih jelas dalam menggambarkan
keadaan yang tidak menyenangkan seperti apa yang bisa disebut sebagai cemas.
        Berdasarkan pengertian-pengertian di atas, kecemasan siswa dalam menghadapi
pelajaran matematika dapat diartikan sebagai keadaan emosi siswa yang tidak menyenangkan,
yang dicirikan dengan kegelisahan, ketidakenakan, kekhawatiran, ketakutan yang tidak mendasar
bahwa akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan ketika siswa menghadapi pelajaran matematika.
Sedangkan bentuk dari kecemasan tersebut, berdasarkan hasil penelitian tentang gejala-gejala
kecemasan siswa dalam menghadapi pelajaran matematika dan juga merujuk pada gejala
kecemasan secara umum, maka dapat disimpulkan ada tiga bentuk gejala kecemasan siswa dalam
menghadapi pelajaran matematika, yaitu :
1. Gejala fisik atau emotionality, seperti tegang saat mengerjakan soal matematika, gugup,
berkeringat, tangan gemetar ketika harus menyelesaikan soal matematika atau ketika mulai
pelajaran matematika.
2. Gejala kognitif atau worry, seperti : pesimis dirinya tidak mampu mengerjakan soal
matematika, khawatir kalau hasil pekerjaan matematikanya buruk, tidak yakin dengan pekerjaan
matematikanya sendiri, ketakutan menjadi bahan tertawaan jika tidak mampu mengerjakan soal
matematika.
3. Gejala perilaku, seperti : berdiam diri karena takut ditertawakan, tidak mau mengerjakan soal
matematika karena takut gagal lagi dan menghindari pelajaran matematika.
METODE PENELITIAN
Identifikasi Variabel Penelitian
Variabel dalam penelitian ini adalah :
1. Variabel tergantung : Kecemasan dalam menghadapi pelajaran matematika
2. Variabel bebas : Metode Pembelajaran Gotong Royong (CooperativeLearning)
15


Jurnal Psikologi Universitas Diponegoro Vol.3 No. 1, Juni 2006
         Kecemasan dalam menghadapi pelajaran matematika dioperasionalkan sebagai keadaan
emosi subjek yang tidak menyenangkan, yang dicirikan dengan kegelisahan, ketidakenakan,
kekhawatiran, ketakutan yang tidak mendasar bahwa sesuatu yang tidak diinginkan akan terjadi
ketika subjek menghadapi pelajaran matematika, yang diungkap dengan menggunakan skala yang
disusun berdasarkan gejala-gejala kecemasan dalam menghadapi pelajaran matematika, yaitu :
gejala fisik, gejala kognitif, dan gejala perilaku.
         Metode Pembelajaran Gotong Royong (Cooperative Learning) dioperasionalkan sebagai
suatu metode mengajar dengan cara membentuk siswa dalam kelompok-kelompok belajar
(masing-masing kelompok terdiri dari dua hingga empat orang siswa), dengan menekankan
kerjasama yang saling menguntungkan antar siswa, mengutamakan keaktifan siswa, menekankan
pengelolaan kelas disertai semangat gotong royong dan penataan ruang kelas berdasarkan prinsip
gotong royong (memungkinkan siswa belajar dengan sesama teman), yang akan digali dengan
menerapkan Metode Pembelajaran Gotong Royong (Cooperative Learning) pada mata pelajaran
matematika di ruang kelas, dengan lima unsur yang harus diperhatikan, yaitu : saling
ketergantungan positif, tanggung jawab perseorangan, tatap muka, komunikasi antara anggota
dan evaluasi proses kelompok. Pengelompokan siswa menggunakan kelompok heterogen
berdasarkan prestasi siswa, artinya dalam tiap-tiap kelompok terdapat siswa yang mempunyai
kemampuan matematika tinggi, sedang dan rendah. Prestasi siswa diukur dengan menggunakan
ulangan matematika yang diadakan sebelum perlakuan diberikan.
         Subjek dalam penelitian ini adalah siswa SMP 26 Semarang dengan karakteristik :
1. Siswa kelas dua
Peneliti memilih siswa kelas dua sebagai subjek penelitian karena beberapa alasan. Alasan yang
pertama adalah sebagai salah satu kontrol terhadap subjek penelitian. Siswa yang tengah duduk di
bangku kelas satu tidak ditetapkan sebagai subjek penelitian karena saat itu merupakan masa
penyesuaian siswa dari pendidikan di SD ke SLTP. Pada masa itu siswa mengalami berbagai
perubahan, seperti: tempat sekolah, teman sekolah, guru, dan juga metode belajar yang menjadi
potensi timbulnya masalah (Sukadji, 2000. h.85).
2. Skor kecemasan dalam menghadapi pelajaran matematika dalam kategori tinggi. Alasan
peneliti memilih subjek yang memiliki skor kecemasan dalam menghadapi pelajaran matematika
dalam kategori tinggi adalah untuk melihat pengaruh perlakuan terhadap tingkat kecemasan
dalam menghadapi pelajaran matematika.
3. Sebelum penelitian ini dilaksanakan, siswa belum pernah diberi materi belajar matematika
dengan Metode Pembelajaran Gotong Royong (Cooperative Learning) Alasan peneliti
menetapkan kriteria bahwa subjek belum pernah mendapat materi belajar matematika dengan
Metode Pembelajaran Gotong Royong (Cooperative Learning) adalah untuk menghindari bias
dalam penelitian.
4. Siswa tidak sedang mengikuti pelajaran atau kursus atau les matematika di luar jam sekolah/di
luar sekolah, seperti : les privat matematika, mengikuti bimbingan belajar di suatu lembaga, les
sempoa. Pentingnya memilih subjek yang tidak sedang mengikuti pelajaran atau kursus atau les
matematika di luar jam sekolah/di luar sekolah adalah sebagai salah satu kontrol terhadap subjek
penelitian.
Data dalam penelitian ini dikumpulkan melalui metode wawancara, observasi, skala psikologi,
metode dokumentasi serta metode test.
16


Jurnal Psikologi Universitas Diponegoro Vol.3 No. 1, Juni 2006
Desain Eksperimen
          Penelitian ini merupakan penelitian komparatif dengan menggunakan metode eksperimen
kuasi (eksperimen semu). Desain eksperimen semu dalam penelitian ini adalah dengan
Nonrandomized Control Group Pretest-Posttest Design. Alasan peneliti memilih subjek
penelitian secara non random adalah terkait dengan kondisi di lapangan. Penelitian dengan
variabel kecemasan siswa dalam menghadapi pelajaran matematika dan Metode Pembelajaran
Gotong Royong (Cooperative Learning) membutuhkan kontrol yang cukup ketat terhadap subjek
penelitian agar mendapatkan kondisi subjek yang homogen (kelompok eksperimen dan kelompok
kontrol). Selain mengacu pada kriteria calon subjek, pemilihan subjek dalam penelitian ini juga
perlu mempertimbangkan faktor-faktor lain yang berpengaruh terhadap variabel yang hendak
diteliti, seperti guru dan metode belajar yang diterapkan pada siswa, sama antara kelompok
eksperimen dan kelompok kontrol. Oleh karena itu, dengan teknik non random diharapkan
mendapat dua kelompok subjek penelitian (kelompok eksperimen dan kelompok kontrol) yang
homogen. Nonrandomized Control Group Pretest-Posttest Design merupakan desain eksperimen
yang membagi subjek ke dalam kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Eksperimen
dilakukan dengan mengadakan tes awal sebelum diadakannya perlakuan dan tes akhir sesudah
perlakuan kepada kedua kelompok subjek dengan rancangan sebagai berikut :
     Desain Eksperimen
     Kelompok Pretest Perlakuan Posttest
     Eksperimen O1 X O2
     Kontrol O1 - O2
     Keterangan :
     O1 : Pengukuran kecemasan siswa dalam menghadapi pelajaran matematika
     sebelum perlakuan
     O2 : Pengukuran kecemasan siswa dalam menghadapi pelajaran matematika
     sesudah perlakuan
     X : Cooperative Learning (Metode Pembelajaran Gotong Royong)
          Subjek pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol diberi tes awal (pretest) berupa
Skala Kecemasan Siswa dalam Menghadapi Pelajaran Matematika. Selang beberapa waktu,
kelompok eksperimen mendapatkan perlakuan berupa Metode Pembelajaran Gotong Royong
(Cooperative Learning). Selama pemberian perlakuan, subjek pada kelompok eksperimen
mendapatkan tambahan belajar matematika dengan menggunakan metode Cooperative Learning
selama empat kali pertemuan. Subjek pada kelompok kontrol tidak diberi perlakuan, melainkan
hanya diberi tes awal dan tes akhir. Selang beberapa waktu setelah perlakuan, subjek pada
kelompok eksperimen dan kelompok kontrol diberi tes akhir (posttest) yang sama seperti tes
awal, yaitu berupa Skala Kecemasan Siswa dalam Menghadapi Pelajaran Matematika.
          Kontrol dalam penelitian ini dilakukan dengan :
1. Menggunakan kelompok kontrol yang tidak diberi perlakuan. Penggunaan kelompok kontrol
ini dimaksudkan untuk membuktikan adanya pengaruh perlakuan pada kelompok eksperimen dan
bukan pada kelompok kontrol.
2. Memilih subjek penelitian yang mempunyai skor kecemasan dalam belajar matematika pada
kategori tinggi dalam suatu rentang tertentu. Tujuannya adalah untuk mendapatkan subjek yang
mempunyai tingkat kecemasan belajar matematika dalam taraf yang seimbang.
3. Memisahkan kelompok eksperimen dan kelompok kontrol secara berpasangan (pair matching)
untuk mendapatkan dua kelompok subjek yang memiliki karakteristik yang sama. Penggunaan
17


Jurnal Psikologi Universitas Diponegoro Vol.3 No. 1, Juni 2006
metode ini bertujuan untuk mengatasi ancaman terhadap validitas internal akibat hilangnya
proses randomisasi subjek.
4. Pembatasan karakteristik subjek sebagai kontrol terhadap subjek penelitian.
Prosedur Eksperimen
Prosedur yang akan dilakukan dalam pelaksanaan eksperimen ini dapat
digambarkan dengan skema sebagai berikut :
KE T1 Perlakuan berupa T3
tambahan belajar matematika
dengan metode belajar
Mach Cooperative Learning
Tingkat
Kecemasan
KK T2 Tanpa perlakuan T4
Gambar 1. Prosedur Pelaksanaan Eksperimen
Keterangan :
KE : Kelompok Eksperimen
KK : Kelompok Kontrol
Match :Pair Matching kecemasan siswa dalam menghadapi pelajaran
matematika
T1 : Pretest Kelompok Eksperimen
T2 : Pretest Kelompok Kontrol
T3 : Posttest Kelompok Eksperimen
T4 : Posttest Kelompok Kontrol
2. Pelaksanaan eksperimen
a. Pilot study
Pilot study disebut juga studi pendahuluan. Studi ini dilakukan untuk mengetahui apakah siswa
dapat mengikuti metode belajar dengan Metode Pembelajaran Gotong Royong (Cooperative
Learning). Pilot study adalah suatu percobaan yang dilakukan pada sejumlah subjek yang identik
dengan subjek penelitian yang diinginkan. Pilot study dilaksanakan setelah peneliti
mempersiapkan desain mengajar matematika dengan metode Cooperative Learning. Pilot study
dalam penelitian ini berupa belajar matematika dengan Metode Pembelajaran Gotong Royong
(Cooperative Learning). Bila hasil pilot study menunjukkan siswa dapat mengikuti proses belajar
dengan Metode Pembelajaran Gotong Royong (Cooperative Learning), maka desain tersebut
dapat diterapkan pada kelompok eksperimen.
b. Pretest
Pretest dilakukan dengan memberikan skala kecemasan siswa dalam menghadapi pelajaran
matematika kepada calon subjek. Subjek yang mempunyai skor kecemasan dalam menghadapi
pelajaran matematika dalam tingkat tinggi ditetapkan sebagi subjek penelitian. Setelah pretest
dilaksanakan, siswa yang telah ditetapkan sebagai subjek penelitian dibagi dalam kelompok
eksperimen dan kelompok kontrol secara berpasangan.
c. Manipulasi
Manipulasi hanya dikenakan pada kelompok eksperimen dan tidak pada kelompok kontrol.
Manipulasi dalam penelitian ini adalah dengan menerapkan Metode Pembelajaran Gotong
Royong (Cooperative Learning) pada mata pelajaran matematika selama empat kali pertemuan.
18


Jurnal Psikologi Universitas Diponegoro Vol.3 No. 1, Juni 2006
Tiap-tiap pertemuan menggunakan teknik mengajar yang berbeda-beda, demikian juga dengan
penataan ruang kelas dan meteri yang disampaikan.
d. Posttest
Posttest dilakukan dengan memberikan skala kecemasan siswa dalam menghadapi pelajaran
matematika kepada subjek penelitian, baik pada kelompok eksperimen maupun pada kelompok
kontrol. Skala yang digunakan merupakan skala yang juga digunakan saat pretest. Posttest
dilakukan untuk mengetahui perbedaan kecemasan siswa dalam menghadapi pelajaran
matematika sebelum dan sesudah perlakuan pada kelompok eksperimen dan juga untuk
mengetahui perbedaan kecemasan antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol.
ANALISIS DATA
Uji Hipotesis
       Pengujian hipotesis dalam penelitian ini menggunakan metode Statistik Parametrik
Paired-Sample T Test dan Independent-Sample T Test, dengan menggunakan program komputer
SPSS versi 11.5. Paired-Sample T Test digunakan untuk analisis data pada kelompok eksperimen,
yaitu untuk mengetahui perbedaan tingkat kecemasan siswa dalam menghadapi pelajaran
matematika sebelum dan sesudah eksperimen. Sedangkan Independent-Sample T Test digunakan
untuk mengetahui perbedaan pengaruh perlakuan (yaitu Cooperative Learning) terhadap tingkat
kecemasan siswa dalam menghadapi pelajaran matematika antara kelompok eksperimen dan
kelompok kontrol.
PENUTUP
A. Pembahasan
          Hasil yang diperoleh dari pengujian hipotesis menunjukkan bahwa ada pengaruh Metode
Pembelajaran Gotong Royong (Cooperative Learning) untuk menurunkan kecemasan siswa
dalam menghadapi pelajaran matematika. Analisis data dilakukan dengan menggunakan teknik
statistik Paired Sample T Test dan Independent Sample T Test. Hasil uji statistik dengan
menggunakan Paired Sample T Test menunjukkan adanya penurunan skor kecemasan siswa
dalam menghadapi pelajaran matematika yang signifikan pada kelompok eksperimen antara
sebelum dan sesudah perlakuan. Perbedaan mean sebesar 9,88 dengan t = 3,140 dan Sig (2
tailed)(0,007) < α (0,05). Sedangkan kelompok kontrol tidak mengalami penurunan skor,
melainkan terjadi kenaikan mean sebesar 2,63 dengan t = 1,976 dan sig (2 tailed)(0,067) > α
(0,05).
          Skor pretest kecemasan siswa dalam menghadapi pelajaran matematika pada kedua
kelompok (kelompok eksperimen dan kelompok kontrol) diuji dengan menggunakan teknik
statistik Independent Sample T Test. Hasil dari analisis tersebut memperlihatkan bahwa tidak ada
perbedaan mean yang signifikan antara kedua kelompok dengan nilai Sig (2 tailed)(0,964) > α
(0,05). Hasil tersebut menunjukkan bahwa kecemasan siswa dalam menghadapi pelajaran
matematika pada kedua kelompok saat pretest berada dalam kondisi yang relatif sama. Setelah
kelompok eksperimen diberi perlakuan selama empat kali pertemuan, terdapat perbedaan yang
signifikan antara skor kecemasan siswa dalam menghadapi pelajaran matematika kelompok
eksperimen dan kelompok kontrol. Perbedaan tersebut ditunjukkan dengan adanya perbedaan
mean antara kedua kelompok
19


Jurnal Psikologi Universitas Diponegoro Vol.3 No. 1, Juni 2006
sebesar 12,63 dan Sig(2 tailed)(0,003) < α (0,05). Kelompok eksperimen mengalami penurunan
skor kecemasan siswa dalam menghadapi pelajaran matematika, sedangkan kelompok kontrol
yang tidak mendapat perlakuan, mengalami sedikit kenaikan skor.
         Hipotesis dalam penelitian ini dapat diterima yaitu bahwa ada perbedaan tingkat
kecemasan siswa dalam menghadapi pelajaran matematika antara kelompok eksperimen yang
mendapat perlakuan berupa Metode Pembelajaran Gotong Royong (Cooperative Learning)
dengan kelompok kontrol yang tidak mendapatkan perlakuan. Metode Pembelajaran Gotong
Royong (Cooperative Learning) dapat menurunkan kecemasan siswa dalam menghadapi
pelajaran matematika pada kelompok eksperimen, sedangkan kelompok kontrol yang tidak
mendapat perlakuan tidak mengalami penurunan kecemasan dalam menghadapi pelajaran
matematika.
         Metode pembelajaran yang diterapkan kepada subjek selama perlakuan sesuai dengan
beberapa prinsip belajar humanistik. Rogers dalam bukunya Freedom to Learn (dikutip Dalyono,
1997.h.47) menyebutkan beberapa prinsip belajar yang bersifat humanistic. Prinsip-prinsip
tersebut antara lain : belajar diperlancar bilamana siswa dilibatkan dalam proses belajar dan ikut
bertanggung jawab terhadap proses belajar itu, apabila ancaman terhadap diri siswa rendah maka
pengalaman dapat diperoleh dengan berbagai cara dan terjadilah proses belajar, kepercayaan
terhadap diri sendiri, kemerdekaan, kreatifitas akan lebih mudah dicapai apabila terutama siswa
dibiasakan untuk mawas diri dan mengkritik diri sendiri dan penilaian orang lain merupakan cara
yang kedua.
         Prinsip belajar humanistik yang selanjutnya adalah “apabila ancaman terhadap diri siswa
rendah maka pengalaman dapat diperoleh dengan berbagai cara dan terjadilah proses belajar”
atau dengan kata lain dapat dinyatakan bahwa bila selama proses belajar berlangsung siswa
merasa aman, maka siswa tersebut akan lebih mudah menyerap materi-materi belajar yang
diberikan oleh guru. Prinsip tersebut sesuai dengan pernyataan Djiwandono (2002, h.348) yang
mengacu pada teori belajar menurut Maslow yaitu jika kelas merupakan tempat yang membuat
siswa takut terhadap pelajaran, dan jika siswa tidak tahu bagaimana menempatkan diri, mereka
akan merasa kurang aman dalam belajar. Selanjutnya, Djiwandono menyebutkan bahwa rasa
kurang aman tersebut dapat mengakibatkan siswa menjadi tidak yakin dengan dirinya sendiri,
sehingga muncul perilaku-perilaku negatif di kelas seperti : mengerjakan tes tanpa minat, enggan
atau malas melaksanakan tugas yang diberikan guru.
         Salah satu hal yang dapat dilakukan guru untuk mengatasi rasa kurang aman siswa adalah
dengan menciptakan suasana kelas yang membuat siswa merasa diterima, dihargai sebagai
individu dan dicintai. Hal tersebut dapat diwujudkan dengan membentuk kelompok-kelompok
belajar. Seperti pernyataan Winkel (1996, h.168) yang menyatakan bahwa kerjasama akan
meningkatkan motivasi belajar siswa karena adanya interaksi koperatif dengan teman sekelas dan
sekaligus kebutuhan untuk menerima dan diterima orang lain juga terpenuhi. Salah satu metode
pembelajaran yang telah menerapkan prinsip tersebut di atas adalah Metode Pembelajaran
Gotong Royong (Cooperative Learning).
         Metode Pembelajaran Gotong Royong (Cooperative Learning) merupakan salah satu
bentuk metode belajar kelompok yang terstruktur. Seperti telah disebutkan dalam bab-bab
sebelumnya, Metode Pembelajaran Gotong Royong (Cooperative Learning) sebagai metode
belajar terstruktur karena terdapat lima unsur model pembelajaran gotong royong (Lie, 2002.
h.17). Unsur-unsur tersebut meliputi : saling ketergantungan positif, tanggung jawab
perseorangan, interaksi tatap muka, komunikasi antar anggota dan evaluasi proses kelompok.
20


Jurnal Psikologi Universitas Diponegoro Vol.3 No. 1, Juni 2006
Selama perlakuan diberikan, unsur-unsur dalam Metode Pembelajaran Gotong Royong
(Cooperative Learning) sangat diperhatikan. Adanya sistem kelompok tentunya memungkinkan
bagi sesama anggota kelompok untuk saling berinteraksi dan berkomunikasi. Selama perlakuan
diberikan, peneliti menyiapkan soal-soal matematika, yang kemudian dikerjakan oleh siswa
sebagai anggota kelompok. Hasil observasi menunjukkan bahwa dari soal-soal yang diberikan
tersebut, setiap anggota kelompok saling berinteraksi dan berkomunikasi dengan anggota
kelompok yang lain agar tugas mereka terselesaikan. Adanya interaksi tatap muka dan
komunikasi di dalam proses belajar kelompok lebih menumbuhkan rasa aman bagi siswa yang
merasa kurang nyaman ketika harus berhadapan dan berkomunikasi langsung dengan guru.
         Ketergantungan positif antar anggota kelompok dan tanggung jawab perorangan dibentuk
dengan menyusun tugas, yang memungkinkan bagi tiap-tiap anggota kelompok untuk
bertanggung jawab sendiri atas tugasnya tanpa harus bergantung pada sesama anggota kelompok.
Adanya ketergantungan positif di dalam kelompok berguna selama proses belajar mengajar
berlangsung. Seperti pernyataan Johnson dan Johnson (dikutip Abdurrahman, 1999. h.122) yang
menyatakan bahwa saling ketergantungan positif diantara siswa dapat menumbuhkan suasana
belajar yang mendorong anak-anak untuk saling membutuhkan. Sedangkan tanggung jawab
perorangan dibentuk agar masing-masing anggota kelompok dapat menyelesaikan tugasnya tanpa
menggantungkan diri pada siswa lain.
         Selama penelitian berlangsung, tugas diberikan pada setiap pertemuan. Pedoman
menyelesaikan tugas disesuaikan dengan teknik belajar yang digunakan. Ada kalanya tugas itu
dikerjakan sendiri baru kemudian didiskusikan dalam kelompok, tapi ada saat juga suatu tugas
menuntut kerjasama kelompok di dalam penyelesaiannya. Tugas yang harus dikerjakan sendiri
dulu kemudian hasilnya didiskusikan dengan kelompok mengkondisikan siswa untuk
bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri karena anggota kelompok yang lain juga harus
menyelesaikan tugasnya sendiri.
         Proses selanjutnya adalah diskusi kelompok untuk membahas jawaban-jawaban masing-
masing anggota kelompok. Secara tidak langsung, situasi tersebut mendorong tiap-tiap anggota
kelompok untuk saling bergantung dengan anggota lain dalam kelompoknya agar mereka
mendapatkan jawaban yang benar atas tugas masing-masing. Kondisi di atas terlihat dari hasil
observasi peneliti selama proses belajar berjalan. Ketika suatu soal telah selesai dikerjakan atau
ketika seorang siswa merasa kesulitan menyelesaikan suatu soal, maka siswa tersebut akan
bekerja sama dengan siswa lain dalam kelompoknya. Pada akhirnya setiap anggota kelompok
akan saling mengoreksi pekerjaannya untuk mendapatkan jawaban yang terbaik. Adanya
kerjasama yang saling menguntungkan di dalam kelompok dan tanggung jawab masing-masing
anggota kelompok terhadap tugas yang diberikan kepadanya akan mendukung bagi kelancaran
belajar siswa.
         Evaluasi proses kelompok merupakan unsur kelima yang harus ada di dalam proses
belajar dengan Metode Pembelajaran Gotong Royong (Cooperative Learning). Evaluasi proses
kelompok tersebut menjadi bahan masukan mengenai proses belajar yang telah berlangsung
berdasarkan penilaian anggota kelompok terhadap proses belajar kelompok dan juga proses
belajar secara keseluruhan. Berdasarkan evaluasi proses kelompok dapat dilakukan perbaikan-
perbaikan sekiranya ada hal-hal yang kurang sesuai dengan Metode Pembelajaran Gotong
Royong (Cooperative Learning). Adanya evaluasi dalam kelompok mendukung terpenuhinya
prinsip belajar humanistik yang menyatakan kepercayaan terhadap diri sendiri, kemerdekaan,
kreatifitas akan lebih mudah dicapai apabila terutama siswa dibiasakan untuk mawas diri dan
21


Jurnal Psikologi Universitas Diponegoro Vol.3 No. 1, Juni 2006
mengkritik diri sendiri dan penilaian orang lain merupakan cara yang kedua. Dalam penelitian
ini, peneliti lebih menekankan pada pembentukan kepercayaan diri siswa.
         Kepercayaan diri siswa menjadi penting dalam proses belajar, baik kepercayaan diri
dalam menguasai materi belajar maupun kepercayaan diri dalam hubungannya dengan orang lain
(guru dan teman sekelas). Adanya evaluasi proses kelompok dapat meningkatkan kepercayaan
diri siswa dalam hubungannya dengan guru. Seperti telah disebutkan di depan, evaluasi proses
kelompok dapat menjadi sarana mengevaluasi proses belajar secara keseluruhan, karena
kelompok-kelompok belajar yang dibentuk merupakan bagian dari proses belajar. Secara tidak
langsung, evaluasi proses kelompok membuat siswa ikut terlibat di dalam menentukan proses
belajar selanjutnya. Adanya keterlibatan tersebut membuat siswa merasa bahwa dirinya berharga
dan pada akhirnya dapat meningkatkan kepercayaan dirinya.
         Evalusi proses kelompok dilakukan dua kali selama perlakuan diberikan. Evaluasi
tersebut berisi lembar pernyataan yang harus diisi oleh semua anggota kelompok mengenai
proses belajar kelompok yang telah berlangsung. Hasil evaluasi yang pertama menunjukkan
bahwa masih ada beberapa hal yang harus diperbaiki di dalam pengelolaan kelas, seperti
menekankan kepada tiap-tiap anggota kelompok untuk saling memperhatikan dan mendengarkan
pendapat teman dalam kelompoknya, menekankan kepada masing-masing kelompok untuk
meningkatkan kekompakannya dan juga menekankan pentingnya tangung jawab perorangan serta
tidak sepenuhnya bergantung kepada teman. Evaluasi yang kedua menunjukkan hasil yang lebih
baik. Sebagian besar siswa telah menjalankan tugasnya sebagai anggota kelompok, membina
hubungan yang baik dengan sesama anggota kelompok dan juga saling membantu satu sama lain.
Hasil observasi juga menunjukkan bahwa semakin lama perlakuan diberikan, kekompakan
kelompok semakin meningkat.
         Keberhasilan Metode Pembelajaran Gotong Royong (Cooperative Learning) bukan
hanya ditentukan oleh unsur-unsur di dalamnya, melainkan juga pengelolaan kelas berdasarkan
prinsip-prinsip tertentu. Lie (2002, h.38) menyatakan bahwa pengelolaan kelas dalam Metode
Pembelajaran Gotong Royong (Cooperative Learning) perlu memperhatikan pengelompokan,
semangat gotong royong, dan penataan ruang kelas. Pada penelitian ini, peneliti juga
mengusahakan adanya pengelolaan kelas yang sesuai dengan Metode Pembelajaran Gotong
Royong (Cooperative Learning).
         Siswa ditempatkan dalam kelompok secara heterogen berdasarkan prestasi matematika
siswa. Masing-masing kelompok terdiri dari empat orang siswa. Prestasi matematika siswa
ditentukan berdasarkan hasil ulangan yang dibuat oleh peneliti. Adanya pengelompokan
heterogen ini memberi kesempatan bagi anggota kelompok untuk saling membantu teman yang
mengalami kesulitan, terutama bagi siswa yang merasa kesulitan belajar dengan guru. Hasil
observasi dan wawancara dengan siswa menunjukkan bahwa sebagian siswa merasa lebih
nyaman ketika bertanya hal-hal yang kurang dimengerti kepada teman daripada kepada guru.
Dengan kata lain, pengelompokan heterogen dalam proses belajar dapat menciptakan suasana
belajar yang aman bagi siswa.
         Semangat gotong-royong perlu ditanamkan kepada tiap-tiap anggota kelompok agar
kelompok bisa bekerja secara efektif. Semangat gotong royong dapat dibentuk melalui beberapa
kegiatan, seperti kesamaan kelompok, identitas kelompok, dan sorak kelompok. Peneliti
menggunakan permainan lempar bola untuk membentuk kesamaan kelompok. Menurut
Djiwandono (2002, h.361), permainan dengan membentuk tim lebih baik daripada permainan
22


Jurnal Psikologi Universitas Diponegoro Vol.3 No. 1, Juni 2006
yang dilakukan secara individu karena akan memberikan kesempatan bagi anggota tim untuk
saling membantu.
        Pada awalnya siswa tampak malu ketika harus bermain lempar bola sambil menyebutkan
kesukaan mereka. Akan tetapi, lama-kelamaan mereka tampak menikmati permainan tersebut.
Suasana di dalam kelas juga tampak lebih menyenangkan. Suasana kelas juga menjadi lebih
menyenangkan ketika masing-masing kelompok diminta untuk membuat nama kelompok
berdasarkan kreativitas masing-masing. Kesempatan yang diberikan kepada siswa untuk
mengembangkan kreatifitasnya menjadi bagian penting dalam proses belajar karena menurut
Fradsen (dikutip Soemanto, 1998. h.236), salah satu hal yang mendorong seseorang untuk belajar
adalah adanya sifat yang kreatif pada diri manusia. Suasana yang menyenangkan tersebut terlihat
dari ekspresi kegembiraan para siswa. Anggota kelompok tampak antusias membuat nama
kelompok mereka. Setelah kesamaan dan nama kelompok terbentuk, kelompok diminta untuk
membuat sorak kelompok. Adanya sorak kelompok juga tampak menggugah semangat belajar
siswa. Selain pengelompokan siswa dan semangat gotong royong, penataan tempat duduk juga
perlu diperhatikan. Pada dasarnya penataan tempat duduk harus memungkinkan siswa belajar
bersama. Selama perlakuan diberikan, peneliti mengunakan beberapa variasi dalam penataan
tempat duduk. Model penataan bangku yang digunakan adalah meja kelompok, penataan tapal
kuda dan bangku individu.
        Hasil observasi dan wawancara menunjukkan bahwa penataan bangku tersebut
memudahkan siswa dalam belajar kelompok. Selain itu, siswa yang merasa kurang nyaman
ketika harus berhadapan langsung dengan guru menjadi lebih nyaman dan aman ketika
berhadapan dan berdekatan dengan sesama teman. Variasi di dalam penataan tempat duduk juga
tampak mengurangi kejenuhan siswa. Kondisi tersebut sesuai dengan pernyataan Lie (2002, h.37)
yang menyatakan bahwa modifikasi dalam penataan ruang kelas dapat mengurangi kejenuhan
siswa.
        Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan di muka, maka dapat disimpulkan bahwa
perlakuan yang diberikan selama empat kali pertemuan berupa belajar matematika dengan
Metode Pembelajaran Gotong Royong (Cooperative Learning) dapat menurunkan kecemasan
siswa ketika menghadapi pelajaran matematika. Hasil tersebut sesuai dengan penelitian yang
dilakukan oleh Stodolsky (1985 dikutip Bodner dkk, 1997), yang menunjukkan bahwa Metode
Pembelajaran Gotong Royong (Cooperative Learning) dapat menurunkan kecemasan siswa
terhadap mata pelajaran ilmu pengetahuan dan matematika.
        Penjelasan lebih lanjut terdapat pada hasil penelitian yang dilakukan oleh Okebula (1986
dikutip Bodner dkk, 1997) bahwa kecemasan siswa dapat menurun ketika diciptakan kondisi
belajar yang menyenangkan, bebas dari rasa tegang, dan adanya rasa saling mempercayai antara
satu dengan yang lainnya. Hambatan di dalam penelitian ini adalah kesulitan peneliti untuk
mengumpulkan subjek penelitian, mengingat waktu yang digunakan dalam penelitian adalah
setelah siswa pulang dari sekolah. Kondisi tersebut dapat dimaklumi karena setelah pulang
sekolah siswa capek dan ingin segera pulang ke rumah masing-masing. Namun demikian, peneliti
berusaha mengatasinya dengan menyiapkan makanan kecil dan memberikan waktu istirahat
selama 15 menit sebelum penelitian dimulai.
B. Kelemahan Penelitian
Kelompok kontrol mengalami sedikit peningkatan skor dalam penelitian ini, akan tetapi
peningkatannya tidak signifikan. Menurut Azwar (1998, h.112- 113) peningkatan ini bisa terjadi
karena adanya proses maturasi dan history. Maturasi adalah proses perubahan pada subjek
23


Jurnal Psikologi Universitas Diponegoro Vol.3 No. 1, Juni 2006
penelitian yang terjadi seiring berjalannya waktu. Perubahan-perubahan ini dapat mempengaruhi
performansi subjek, baik ke arah yang positif maupun ke arah yang negatif. Hasil penelitian
menunjukkan ada peningkatan skor kecemasan siswa dalam mengadapi pelajaran matematika
pada kelompok kontrol. Hasil tersebut tentunya memperlihatkan adanya perubahan yang negatif
pada kelompok kontrol. Kondisi tersebut bisa terjadi karena selama perlakuan diberikan kepada
kelompok eksperimen, kelompok kontrol tetap belajar dengan metode belajar yang biasa diterima
dan juga tetap berinteraksi dengan guru dan siswa yang lain seperti biasanya. History merupakan
kejadian-kejadian khusus selama perlakuan yang terjadi antara masa pengukuran pertama
(pretest) dan pengukuran kedua (posttest) yang dialami oleh subjek dan ikut mempengaruhi
eksperimen. Keterbatasan dalam penelitian juga terdapat pada tidak dapat dikontrol kegiatan-
kegiatan yang terjadi di luar sekolah, misalnya di rumah yang merupakan interaksi siswa dengan
keluarga dan juga dengan lingkungan masyarakat. Menurut Hadi (2001, h.43) adanya maturasi
dan history merupakan kesesatan konstan yaitu pengaruhpengaruh variabel ekstrane yang selalu
ada, yang tidak dapat diketahui atau tidak dapat diperhitungkan dan tidak dapat dipisahkan dari
perbedaan-perbedaan hasil yang ditimbulkan oleh perlakuan. Pengaruh maturasi dan history
dapat mengurangi validitas internal, namun demikian ada beberapa upaya yang dilakukan untuk
meningkatkannya, seperti dengan memberikan perlakuan tidak dalam jangka waktu yang terlalu
lama, memisah kelompok eksperimen dan kelompok kontrol dalam kelas yang berbeda untuk
mengantisipasi terjadinya komunikasi tentang perlakuan.
Kelemahan lain dalam penelitian ini adalah terkait dengan penetapan subjek penelitian. Semula
peneliti menggunakan kriteria subjek penelitian adalah siswa yang hasil pretestnya mempunyai
skor kecemasan dalam menghadapi pelajaran matematika dalam kriteria tinggi, namun pada
akhirnya kriteria tingkat kecemasan subjek diturunkan menjadi tingkat sedang. Padahal pada bab
sebelumnya, disebutkan bahwa pada dasarnya kecemasan dalam tingkat yang rendah dan sedang
berpengaruh positif terhadap penampilan belajar siswa, salah satunya dapat meningkatkan
motivasi belajar (Elliot dkk, 1996. h.342).
C. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah diperoleh, maka dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh
pemberian perlakuan berupa Metode Pembelajaran Gotong Royong (Cooperative Learning)
terhadap kecemasan siswa dalam menghadapi pelajaran matematika. Ada perbedaan kecemasan
siswa dalam menghadapi pelajaran matematika pada kelompok eksperimen dan kelompok
kontrol. Kelompok eksperimen yang mendapat perlakuan mengalami penurunan skor kecemasan
siswa dalam menghadapi pelajaran matematika, sedangkan kelompok kontrol tidak. Hasil
tersebut menunjukkan bahwa hipotesis dalam penelitian ini dapat diterima.
D. Saran
1. Bagi siswa
Siswa hendaknya mencoba belajar matematika dengan membentuk kelompok-kelompok belajar
bersama siswa lain yang mempunyai kemampuan beragam dalam mata pelajaran matematika,
dengan menekankan adanya saling ketergantungan positif, tanggung jawab masing-masing
pribadi, komunikasi dan interaksi yang baik diantara anggota kelompok.
2. Bagi guru
Diharapkan guru mencoba menerapkan Metode Pembelajaran Gotong Royong (Cooperative
Learning) dalam proses belajar mengajar di kelas dengan memperhatikan beberapa hal, seperti :
a. Menerapkan metode tersebut di awal semester karena masa penyesuaian memungkinkan
terjadinya masalah dalam diri siswa seperti munculnya gejala-gejala kecemasan
24


Jurnal Psikologi Universitas Diponegoro Vol.3 No. 1, Juni 2006
b. Mempersiapkan desain pengelolaan kelas dan teknik belajar yang sesuai dengan materi belajar
c. Mengamati proses belajar kelompok dan membantu ketika siswa mengalami kesulitan dalam
menyelesaikan suatu tugas bersama temannya dalam kelompok
d. Menggunakan alat bantu belajar ketika jumlah siswanya besar (misalnya dengan media audio
visual).
3. Bagi peneliti selanjutnya
         Bagi peneliti selanjutnya yang berminat untuk meneliti kecemasan siswa dalam
menghadapi pelajaran matematika, hendaknya perlu memperhatikan faktor-faktor lain yang
berpengaruh terhadap kecemasan itu sendiri, seperti persepsi diri, Self Efficacy, Expectancy
Value. Faktor lain seperti inteligensi dan motivasi belajar siswa perlu dikontrol, mengingat
keduanya dapat mempengaruhi prestasi belajar siswa. Pengukuran tekanan darah dan detak
jantung pada subjek sebelum dan sesudah perlakuan juga perlu dilakukan sebagai salah satu alat
pengukur kecemasan.
         Bagi peneliti yang berminat untuk meneliti Metode Pembelajaran Gotong Royong
(Cooperative Learning) hendaknya lebih memperhatikan variasi di dalam pengelolaan kelas agar
siswa tidak jenuh dan situasi belajar lebih menyenangkan. Hal-hal yang dapat dilakukan antara
lain dengan menerapkan berbagai teknik mengajar dengan Metode Pembelajaran Gotong Royong
(Cooperative Learning), menggunakan variasi penataan bangku, pengelompokan heterogen yang
bukan hanya didasarkan atas prestasi siswa tetapi juga memperhatikan keanekaragaman gender,
kelas sosial, dan juga tingkat kecemasan yang bervariasi.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2004. Kecil, Ketidaklulusan UAN. www. Pikiran-rakyat .com/ cetak/ 0604/ 29/
      0413.htm.diakses tanggal 19 Oktober 2005.
Anonim. 2005. Pendidikan Menengah : 9.299 Siswa SMA/MA di Jateng Tidak Lulus Ujian
      Negara Kedua. www.mediaindo.co.id/berita.asp?id=74419. diakses tanggal 19 Oktober
      2005.
Abdurrahman, M. 1999. Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar. Jakarta : Rineka Cipta.
Astuti, R.S.,Nuryoto, S. 2004. Efektivitas metode belajar bekerjasama dalam kemampuan
        pemecahan masalah pada anak usia 5-6 tahun. Sosiosains:(2):223-232.
Atkinson, R.L.,Atkinson, R.C.,Hilgard, E.R. 2001. Pengantar Psikologi. Jilid Dua. Alih Bahasa :
       Widjaja Kusuma. Batam : Interaksara.
Azwar, S. 1998. Metode Penelitian. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Bodner,G.M.,Metz,P.A.,Tobin,K. 1997. Cooperative learning : An alternative to teaching at a
       medievaluniversity.AustralianScienceTeacherJournal:(43):23-24.
       http//chemed.cem.purdue.edu/chemed/bodnergroup/archive/publications/cooperative.htm
       l. diakses tanggal 30 Maret 2005.
Daradjat, Z. 1990. Kesehatan Mental. Edisi Keenam Belas. Jakarta : CV Haji Masagung.
Dalyono. 1997. Psikologi Pendidikan. Jakarta : Rineka Cipta.
25


Jurnal Psikologi Universitas Diponegoro Vol.3 No. 1, Juni 2006
Djamarah, S.B. 2000. Guru dan Anak Didik Dalam Interaksi Edukatif. Jakarta :
       Rineka Cipta.
------------------. 2002. Psikologi Belajar. Jakarta : Rineka Cipta.
Djiwandono, S.E.W. 2002. Psikologi Pendidikan. Jakarta : PT Grasindo.
Elliot, S.N, Kratochwill, T.R.,Litllefield, J.,Travers, J.F. 1996. EducationalPsychology. Second
         Edition. Madition : Brown dan Benchmark Company.
Fisher, R. 1988. Learning Difficulties : Strategies for Helping Student. Iowa : Kendall Hunt
        Publishing Company.
Gage, N.L., Berliner, D.C. 1984. Educational Psychology. Third Edition. Boston : Houghton
       Mifflin Company.
Garfield, J. 1993. Teaching statistics using small-group cooperative learning.Journal of Statistics
        Education:(1). www.amstat.org/publications/jse/v1n1/garfield.html. diakses tanggal 2
        Februari 2005.
Gralinski, J.h.,Stipek. 1991. Gender differences in children’s achievement related beliefs and
        emotional respons. Journal of Educational Psychology:(3):361-371.
Hadi, S. 2001. Metodologi Research. Jilid Empat. Yogyakarta :Andi.
Hikmat, E.K. 2004. Sistem Ranking Kelas Banyak Dampak Negatifnya.http//www.pikiran-
        rakyat.com/cetak/1004/14/1107.htm. diakses tanggal 30 Maret 2005.
Hurlock, E.B. 1997. Psikologi Perkembangan : Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang
       Kehidupan. Alih Bahasa : Istiwidayanti dan Soedjarwo. Jakarta: Erlangga.
Kagan., Haveman. 1972. Psychology An Introduction. Second Edition. New York : Harcourt
       Brace Jovanovich, Inc.
Kartono, K.,Gulo, D. 1987. Kamus Psikologi. Bandung : Pionir Jaya.
Kartono, K. 2002. Patologi Sosial 3 : Gangguan-Gangguan Kejiwaan. Jakarta : PT Raja
        Grafindo Persada.
Lie, A. 2002. Cooperative Learning : Mempraktikkan Cooperative learning diRuang-Ruang
        Kelas. Jakarta : Gramedia Widiasarana Indonesia.
Martin, F.S. 1996. Studi eksperimental untuk mengurangi kecemasan siswa sekolah menengah
        pertama terhadap pelajaran matematika. Skripsi (Tidak Diterbitkan). Yogyakarta :
        Fakultas Psikologi UGM.
Martin, F.S., Prihatiningtias, N., Ningsih, S.N., Supriyani, T. 1994. Kecemasan siswa sekolah
        lanjutan tingkat pertama terhadap matematika : Faktor penyebab serta hubungannya
        dengan prestasi belajar matematika. Karya Ilmiah Lomba Inovatif Tingkat Mahasiswa
        (Tidak Diterbitkan). Yogyakarta : Fakultas Psikologi UGM.
26


Jurnal Psikologi Universitas Diponegoro Vol.3 No. 1, Juni 2006
Morris, L.W., Kellaway, D.S., Smith, D.H. 1976. Mathematics anxiety rating scale : Predicting
        anxiety experiences and academic performance in two groups of student. Journal of
        Educational Psychology:( 4): 589-594.
Morris, L.W., Davis, M.A., Hutchingsch. 1981. Cognitive and emotional component of anxiety :
        Literature review and a revised worry emotionality scale. Journal of Educational
        Psychology:( 4): 541-555.
Morrison, G.S. 1993. Contempory Curriculum K-8. Boston : Allyn dan Bacon Company.
Nawangsari, N.A.F. 2001. Pengaruh self-efficacy dan expectancy-value terhadap kecemasan
      menghadapi pelajaran matematika. Insan Media Psikologi, :(3):(2):75-88. Surabaya :
      Erlangga.
Nevid, J.S. 1997. Abnormal Psychology In Changing World. New York : Prentice Hall, Inc.
Ormrod, J.E. 2003. Educational Psychology : Developing Learners. Fourth Edition. New Jersey :
      Pearson Education Inc.
Rogers, C. 1969. Experiential Learning. http://tip.psychology.org/rogers.html. diakses tanggal 27
        Oktober 2005.
Sembiring, R.K. (2002, 16 September). Reformasi Pendidikan Matematika di Indonesia. Kompas,
       hal.30.
Sigmund, T. 1978. Anxiety research in educational psychology. Journal of Educational
       Psychology:( 5): 573-582.
Siegel, S. 1997. Statistik Nonparametrik Untuk Ilmu-ilmu Sosial. Alih Bahasa : Zanzawi Suyuti
        dan Landung Simatupang. Jakarta : PT Gramedia.
Slameto. 2003. Belajar dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya. Jakarta : Rineka Cipta.
Soedjadi, R. 2000. Kiat Pendidikan Matematika di Indonesia : Konstantasi Keadaan Masa Kini
       Menuju harapan Masa Depan. Jakarta : Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi
       Departeman Pendidikan Nasional.
Soemanto, W. 1998. Psikologi Pendidikan : Landasan Kerja Pemimpin Pendidikan. Jakarta :
      Rineka Cipta.
Sugita, M.B. 2005. Kualitas Pendidikan Tingkat Menengah Sangat Memprihatinkan : Uji Kasus
        di Kudus. www.kompas.com/kompascetak/ 0506/06/Didaktika/1792096.htm. diakses
        tanggal 19 Oktober 2005.
Sugiyono. 2002. Statistika Untuk Penelitian. Bandung : CV Alfabeta.
27


Jurnal Psikologi Universitas Diponegoro Vol.3 No. 1, Juni 2006
Sukadji, S. 2000. Psikologi Pendidikan dan Psikologi Sekolah. Jakarta : Lembaga Pengembangan
        Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi.
        Sukmadinata, N.S. 2003. Landasan Psikologi Proses Pendidikan. Bandung : PT Remaja
        Rosdakarya.
Suparno, S. 2000. Membangun Kompetensi Belajar. Jakarta : Direktorat Jenderal Pendidikan
       Tinggi Departemen Pendidikan Nasional.
Surya. 2005. Supaya Siswa Minat Matematika. www .surya. co.id/ 04022005/ose .phtml-21k.
       diakses tanggal 30 Maret 2005.
Suryabrata, S. 1995. Psikologi Pendidikan. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Trihendradi, C. 2004. Memecahkan Kasus Statistik : Deskriptif, Parametrik, dan Non Parametrik
       dengan SPSS 12. Yogyakarta : Andi.
Winkel, W.S. 1996. Psikologi Pengajaran. Jakarta : Grasindo.
Winarsunu, T. 2002. Statistik dalam Penelitian Psikologi dan Pendidikan. Malang : UMM Press.
28





4 komentar: